A. PENDAHULUAN
Era pasar bebas telah memberikan warna di dalam pergerakan produk perdagangan dewasa ini. Berbagai hambatan yang bertalian dengan tarif menjadi tidak populer lagi, bahkan hambatan nontarif yang tidak didasarkan kepada rasionalitas dan bersifat diskriminatif tidak mudah untuk diterima masyarakat dunia.Berbagai regulasi, baik tumbuh secara sukarela maupun secara wajib, dikembangkan sebagai salah satu peranti pengendali perdagangan. Beberapa di antaranya menjadi instrumen hambatan teknis dalam perdagangan.
Setiap negara memiliki kewenangan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakatnya, berkaitan dengan keamanan dan keselamatan. Kesepakatan mengenai Sanitary and Phytosanitary (SPs) telah dinotifikasi oleh banyak negara, menyangkut peredaran produk hewan dan pertanian. Setiap negara memiliki Undang-Undang Perlindungan Konsumen, termasuk Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen. Keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan posisi tawar yang kuat bagi konsumen dalam rangka melindungi diri, harkat, dan martabatnya.
Isu keamanan pangan saat ini diangkat ke dalam perdagangan dengan dua pendekatan, tergantung pada sudut pandang masing-masing negara. Beberapa negara menjadikan masalah keamanan pangan sebagai isu yang perlu diatur secara wajib (mandatory), tetapi beberapa negara lain tetap menggunakan mekanisme pasar yang mengaturnya secara sukarela (Voluntary).
Di dalam suatu negara seperti Indonesia, acap kali permasalahan sistem perlindungan, seperti kasus keamanan pangan ini dikelola dengan banyak pendekatan. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (DKPRI) melihat masalah keamanan pangan ikan dan produk ikan sebagai suatu isu yang diatur secara wajib (mandatory), sehingga perlu diatur dalam suatu sistem yang harus ditaati oleh pelaku bisnis sektor perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (DKP-RI), melanjutkan kebijakan Departemen Pertanian yang dituangkan dalam Kepmen. Nomor 41/Kpts.Lk, 210/2/1998 pada kabinet sebelumnya, telah melakukan pembinaan intensif terhadap agroindustri perikanan melalui suatu sistem Sertifikasi Kelayakan Pengolahan (SKP). Pencapaian SKP menjadi dasar penerapan sistem manajemen kemananan pangan berbasis Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) diperbarui oleh Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.01/MEN/2002 tentang Sistem Manajemen. Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Departemen lain belum melihat kepentingan mengatur sistem keamanan pangan secara wajib, bahkan Badan Standardisasi Nasional (BSN) - sebuah lembaga setingkat departemen yang dibentuk pemerintah untuk menangani standardisasi- justru membawa persoalan keamanan pangan dalam format sukarela. Badan pengawasan Obat dan Makanan, hingga saat ini mengambil jalan tengah dengan hanya mewajibkan prerequisites sistem keamanan pangan melalui sertifikasi Cara Pengolahan Makanan Yang Baik (CPMB).
Sistem manajemen keamanan pangan dikembangkan oleh beberapa kawasan di dunia dengan rujukan pada prinsip yang dikembangkan oleh Code Alimentarius Commisison-World Health Organization. Interpretasi dan keluasan standar yang dikembangkan dunia, disesuaikan dengan kemajuan masing-masing negara. SIstem HACCP yang dikembangkan di Eropa telah diperluas dengan memasukkan unsut manufaktur secara lengkap sehingga persyaratan dasar (prerequisites) yang diminta sangat lengkap. SIstem HACCP yang dikembangkan di Australia bahkan dipadukan dengan sistem ISO 9000:2000, sehingga disebut SQF 2000. Standar ISO 9001 yang mengakomodasikan HACCP sebenarnya telah dikeluarkan dengan nomor seri ISO 15161:2001. Bahkan September 2005 ini telah direncanakan standar terbaru tentang HACCP, yakni ISO 22000. Indonesia melalui BSN telah mengadopsi standar Codex tentang HACCP, yakni SNI 01-4852:1998.
Berlanjut ke Bagian B...
Informasi Pelatihan HACCP : Training HACCP 2018
Untuk informasi training lainnya silahkan kunjungi : Website Multi Kompetensi
Thanks for reading & sharing Mk Food
0 comments:
Post a Comment